ULUMUL QUR’AN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Hj. Nur Asiyah, M.S.I
Disusun Oleh :
Awaliya
Amirotun (1403036054)
Fuadzi Azhar (1403036045)
Luthfiyatu
Dzikriyah (133711020)
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sumber utama
dan pertama ajaran agama yang kita anut sebagai orang Islam adalah Al-Qur’an
al-Karim. Baru kemudian diikuti dengan al-Hadits atau al-Sunnah sebagai sumber
penting kedua agama Islam. Al-Qur’an al-Karim adalah mukjizat Islam yang abadi.
Kemajuan ilmu itu tidak akan bertambah kecuali dengan meresapkan Al-Qur’an ini
ke dalam jiwa.[1]
Dan Al-Qur’an itu diturunkan untuk penuntun kehidupan umat manusia menurut apa
yang dikehendaki kepada jalan yang benar.[2]
Mempelajari Ulumul Qur’an sangat penting karena secara internal yaitu untuk
memahami Kalam Allah, dan secara eksternal dapat membentengi kaum muslimin dari
kemungkinan usaha pengaburan Al-Qur’an yang dilakukan oleh orang-orang yang
tidak mengimani atau memusuhi Al-Qur’an dan kaum Muslimin bisa memahami Kitab
sucinya.[3]
Oleh karena itu, pada kesempatan ini pemakalah akan membahas hal-hal yang
berkaitan dengan Ulumul Al-Qur’an.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Nuzul Al-Quran?
2. Bagaimana tahapan-tahapan turunnya Al-Quran?
3. Apa dalil turunnya Al-Quran yang secara
berangsur-angsur?
4. Bagaimana hikmah turunnya Al-Quran secara
berangsur-angsur?
5. Bagaimana pemeliharaan Al-Quran yang dimulai
pada masa Nabi Muhammad SAW sampai sekarang?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nuzul Al-Qur’an
Nuzul Al-Qur’an atau yang di Indonesia sering ditulis Nuzulul
Qur’an terdiri dari dua kata, yakni Nuzul dan Al-Qur’an. Kata nazala di dalam
bahasa Arab berarti meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.[4]
Dan untuk transitifnya berarti menggerakkan sesuatu dari atas ke bawah. Dan
kata “nuzul” dalam penggunaan kebahasan diartikan dan dimaksudkan sebagai
proses menuju dan menempati suatu tempat.
Tetapi tidak diragukan lagi bahwa kedua makna itu tidak layak
diterapkan untuk penurunan Allah SWT. Terhadap Al-Qur’an atau turunnya Al-Quran
dari Allah SWT. Karena kedua makna ini memastikan adanya tempat dan benda.
Padahal Al-Qur’an bukan benda, sehingga bisa menempati suatu tempat atau turun
dari atas ke bawah.[5]
Dan menurut Syekh Abd Al-Wahhab Abd Al-Majid Ghazlan di dalam Al-Bayan
Mabahitsi ‘Ulum Al-Qur’an-nya yang turun itu bukan berbentuk fisik, maka
pengertian nuzul disini bisa mengandung pengertian kiasan (majazi) dan apabila
yang dimaksud turun adalah lafaz, maka nuzul berarti al-ishal (penyampaian) dan
al-i’lam (penginformasian).[6]
Para ulama mempunyai beberapa arti dalam mengartikan kata nuzul
menurut istilah, antara lain sebagai berikut :
a. Jumhur ulama, arti kata nuzul dalam konteksnya
dengan Al-Qur’an atau arti kalimat Nuzulul Qur’an tidak perlu menggunakan arti
yang hakiki, yaitu yang berarti turun atau bertempat maupun berkumpul,
melainkan perlu memakai arti yang majaz, atau arti pinjaman atau tidak asli.
Sebab, lafal Al-Qur’an adalah Kalam atau Firman Allah yeng tidak relevan jika
dikatakan meluncur dari atas atau turun. Hal ini dikarenakan Allah SWT itu
tidak bertempat di langit atau nun jauh di sana, sehingga wahyunya harus turun
dari atas ke bawah. Karena itu kata Nuzulul Qur’an itu diartikan dengan makna
majazi, yaitu Al-Idhhar (menampakkan/menjelaskan) atau Al-I’lam
(memberitahukan/menerangkan) ataupun Al-Ifham (memahamkan/menerangkan).
b. Menurut
sebagian ulama, yakni tokoh golongan Jahamiyah dan Imam Ibnu Taimiyah
mengatakan, bahwa dalam mengartikan kata Nuzul itu tidak perlu harus
meninggalkan arti hakiki, yang berarti turun karena itu sudah menjadi bahasa
kebiasaan orang Arab.
Maka dalam hal
ini kita menggunakan pendapat Jumhur Ulama. Sebab penggunaan ungkapan “turun”
untuk Kitab Al-Qur’an dari sisi Allah SWT kalau secara hakiki memang tetap
terasa kurang tepat, sehingga harus dianggap sebagai arti majazi, sebagai
pinjaman dari arti yang sebenarnya.[7]
Allah SWT. memuliakan al-Qur’an, antara lain dengan memberikan tiga
tahap penurunannya, yaitu :
1. Ke Lauh Mahfudz.
Dalilnya adalah firman Allah SWT. :
بَلْ هُوقُرْآنٌ مَجِيْدٌ فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ.
Bahkan
yang didustakan mereka itu ialah al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam
Lauh Mahfudz.(QS. Al-Buruj :
21-22).
Keberadaannya di Lauh Mahfudz ini adalah dengan cara dan pada waktu
yang hanya diketahui oleh Allah SWT. dan orang yang diperlihatkan kepada
keghaiban oleh-Nya. Wujudnya global bukan rincian.Inilah pengertian lahiriahnya
dan tidak ada yang mengalihkan dari pengertian lahiriah itu.Semua rahasia
diturunkannya al-Qur’an secara bertahap kepada Nabi saw. Tidak logis terjadi
pada penurunan tahap ini.
Hikmah penurunan seperti ini kembali kepada hikmah yang tinggi dari
wujud Lauh itu sendiri dan keberadaannya sebagai media yang mencakup semua yang
menjadi qadar dan qadha’ Allah SWT., alam-alam yang telah dan akan wujud. Ia
merupakan saksilogis dan manifestasi terjelas yang mengidentifikasikan
keagungan, ilmu, iradah, kebijaksanaan, keluasan kekuasaan dan qudrah-Nya. Tak
pelak lagi, bahwa beriman kepada-Nya dapat menguatkan keimanan seseorang kepada
Tuhannya dari aspek-aspek tersebut, menumbuhkan ketenangan dalam jiwanya,
percaya kepada semua yang diterapkan oleh Allah SWT. kepada makhluk-Nya berupa
hidayah, syari’ah, kitab-kitab dan segala jenis persoalan hamba-Nya, di samping
mendorong manusia untuk tenang dan lega terhadap qadar dan qadha’. Dari
sinilah, mereka akan merasakan keringanan menjalani hidup, yang berat maupun
yang ringan. [8]
2. Ke Baitul
Izzah di Langit Dunia.
Dalilnya adalah firman Allah SWT. di dalam surat ad-Dukhan :
اِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ
مُبَارَكَةٍإِنَّاكُنَّامُنْذِرِيْنَ .
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan
sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. (QS. Ad-Dukhan : 3)
Firman-Nya dalam surat al-Qadar :
اَنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ.
Sesungguhnya
kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan. (QS. Al-Qadar : 1)
Serta
firman-Nya dalam surat al-Baqarah :
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
(Beberapa hari
yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan
(permulaan) al-Qur’an. (QS. Al-Baqarah : 185)
Ketiga ayat itu
menunjukkan bahwa al-Qur’an diturunkan dalm satu malam, yang disifati bahwa
malam itu diberkati, sebagaimana disebutkan dalam ayat pada surat ad-Dukhan.
Dan disebut Lailatul Qadar, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Qadar, serta
terjadi pada bulan Ramadhan, sebagaimana disebutkan di dalam surat al-Baqarah.
Telah dimaklumi dengan dalil-dalil qath’iy bahwa al-qur’an
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sedikit demi sedikit, bukan hanya dalam
satu malam tetapi selama beberapa tahun. Dengan demikian, jelaslah bahwa
turunnya al-Qur’an yang ditegaskan oleh ketiga ayat itu bukanlah turunnya
al-Qur’an yang seperti itu. Banyak khabar yang menegaskan bahwa tempatnya di
Baitul Izzah dari langit dunia.Riwayat dari Ibn
Abbas ra. berkata : Al-Qur'an dipisahkan dari Adz Dzikir lalu Al-Qur'an itu
diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, lalu Jibril mulai menurunkannya
kepada Nabi.Dan hadits riwayat Ibnu Abbas lainnya : Al-Qur'an diturunkan
sekaligus langit bumi (Bait Al-Izzah) berada di Mawaqi’a Al-Nujum (tempat
bintang-bintang) dan kemudian Allah menurukan kepada Rasul-Nya dengan berangsur-angsur.
Ada pendapat kedua yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan ke
langit dunia dalam dua puluh malam qadar, atau dua puluh tiga ataupun dua puluh
lima, dan dimasing-masing malam qadar itu Allah SWT. menurunkan sejumlah ayat
yang hendak Allah SWT. turunkan secara bertahap pada tahun itu, ia turun
sedikit demi sedikit pada semua tahun kepada Nabi saw. Ada juga pendapat
ketiga, yang menyatakan bahwa mula-mula al-Qur’an diturunkan pada malam qadar,
baru setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit dalam banyak waktu kepada Nabi
saw. Tampaknya yang melontarkan pendapat ini menafikan turunnya al-Qur’an
sekali secara keseluruhan ke Baitul Izzah di malam al-Qadar. Ulama juga
menyebutkan pendapat keempat, yaitu bahwa al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudz sekali
secara keseluruhan, dan para malaikat penajaga ‘Arasy menurunkannya sedikit
demi sedikit kepada Jibril dalam dua puluh malam, serta Jibril menurunkannya
sedikit demi sedikit kepada Nabi saw. dalam dua puluh tahun. Akan tetapi ketiga
pendapat terakhir itu kurang tepat, tersanggah oleh riwayat-riwayat yang
menguatkan pendapat pertama.[9]
3. Turunnya
Melalui Malaikat Jibril.
Dalilnya adalah firman Allah SWT. :
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ. عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ
الْمُنْذِرِينَ. بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
Dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan, dangan bahasa Arab yang jelas. (QS.
Asy-Syu’ara: 193-195)[10]
C. Dalil-dalil yang Menyebutkan Turunnya Al-Qur’an
secara Berangsur-angsur
Tentang turunnya al-Qur’an itu, Allah SWT. menjelaskan dalam
al-Qur’an.
قُلْ نَزَّلَهُ رُوْحُ القُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِاْلحَقِّ لِيُثَبِّتَ
الَّذِيْنَ اَمَنُوْا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِيْنَ
Katakanlah, Rasul Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an itu dari
Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang telah beriman, dan
menjadi petunjuk serta khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah). (QS. An-Nahl :
102)
قُلْ
مَن كَانَ عَدُوًّا لِّجِبْرِيْلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ
اللهِ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَ هُدًى وَ بُشْرَى لِلْمُؤْمِنِيْنَ
Katakanlah, barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu
telah menurunkannya (Al-Qur’an) ke dalam hatimu atas seizin Allah. Membenarkan
kitab-kitab yang sebelumnya, dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi
orang-orang beriman. (QS. Al-Baqarah
: 97)
Inilah ayat-ayat yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu adalah
perkataan Allah dengan bahasa Arab. Jibrillah yang menurunkannya ke dalam hati
Rasulullah SAW. Turun disini bukan berarti turun yang pertama kali ke langit
dunia. Yang dimaksud disini ialah turun dengan cara berangsur-angsur Ta’bir
lafaz ini menunjukkan tanzil bukan inzal. Dimaksud dengan tanzili ialah turun
dengan cara berangsur-angsur. Ahli-ahli bahasa membedakan antara inzal dengan
tanzil. Tanzil ialah diturunkan bercerai-cerai sedangkan inzal itu berbentuk
umum.
Turunnya al-Qur’an itu dengan berangsur-angsur dalam masa dua puluh
tiga tahun. Tiga belas tahun di antaranya diturunkan di Mekah menurut pendapat
yang terkuat. Dan sepuluh tahun di Madinah. Turunnya itu bercerai-berai.
Artinya bahwa Allah menurunkan al-Qur’an itu tidak sekaligus, agar supaya Nabi
dapat membacakan kepada orang lain dengan pelan-pelan. Diturunkan itu ada
kaitannya dengan kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi, adapun
kitab-kitab lainnya itu, seperti Taurat, Injil dan Zabur turun sekaligus, bukan
sebagian demi sebagian. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Furqon :
32
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ
جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَوَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا
Berkata orang-orang kafir, “mengapa al-Qur’an itu tidak diturunkan
kepadanya sekali turun saja?”. Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya
sekelompok demi sekelompok.
Ayat ini menjadi dalil bahwa kitab-kitab langit dahulu itu turunnya
sekaligus. Inilah pendapat Ulama-ulama yang masyhur. Kalau turunnya al-Qur’an
bercerai-berai (berangsur-angsur) maka orang kafir itu tidak akan ta’ajub
terhadap al-Qur’an.[11]
Allah menjawab dengan menerangkan untuk hikmah dalam hal menurunkan al-Qur’an
itu secara berangsur-angsur melalui firmannya yang berbuyi, Seperti itulah
Kami menetapkan hatimu dengan al-Qur’an. Maksunya yaitu, demikianlah Allah
SWT. turunkan al-Qur’an itu bukan dengan sekaligus. Hikmahnya ialah untuk menguatkan hati Rasulullah saw. Dan
kami bacakan pelan-pelan. Artinya telah Kami tentukan kadar ayat itu
sebagian demi sebagian. Atau kami terangkan seterang-terangnya. Al-Qur’an itu
turunnya tidak sekaligus. Hal ini berkaitan dengan kejadian-kejadian dan untuk
mudah menghafalnya serta memahaminya. Berkaitan juga dengan sebab-sebab yang
cukup besar.
Orang-orang yang membaca hadis shahih bahwa turunnya al-Qur’an itu
menurut kebutuhan. Ada yang turun itu lima ayat, ada yang sepuluh ayat, bahkan
ada yang lebih atau yang kurang dari itu.
D. Hikmah Turunnya Al-Quran Secara Berangsur-angsur
Menurut
Al-Zarqani dalam kitab Manahil l-Irfan fi Ulum al-Quran, bahwa turunnya Al-Quran memiliki beberapa rahasia
dan hikmah, diantaranya:
a. Untuk menabahkan dan
menguatkan hati serta jiwa Nabi Muhammad SAW. Ketika malaikat jibril
berulang-ulang datang kepada Nabi SAW untuk menyampaikan wahyu dari Allah SWT,
beliau merasa senang. Hal ini dikarenakan terjadi kontak atau hubungan antara
belaiu dengan Dzat dari mana wahyu itu berasal. Dan sepanjang Nabi SAW
menjalankan tugas kerasulannya, beliau tidak lepas dari tantangan dan rintangan
musuh-musuhnya. Karena itulah Allah SWT
menurunkan wahyu yang sekiranya bisa menumbuhkan semangat kembali, serta
menjanjikan pertolongan-Nya, sehingga jiwa beliau menjadi mantap dan stabil
kembali.
وكلانقصعليكمنأنباءالرسلمانثبتبهفؤادك
“dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan
kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu”. (QS. Hud
11:120)
b. Untuk membimbing dan membina umat Nabi Muhammad
SAW dalam melaksanakan syariat Islam, karena memerlukan waktu serta proses
secara bertahap.
c. Al-Quran diturunkan
berkenaan dengan masalah atau kasus yang muncul pada masyarakat waktu itu.
d. Menunjukkan
bahwa Al-Quran merupakan kalamullah semata.
أفلايتدبرونالقرآنولوكانمنعندغيراللهلوجدوافيهاختلافاكثيرا
“maka
apakah mereka tidak memperhatikan al-quran? Kalau kiranya al-Quran itu bukan
dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya”. (QS. An-Nisa 3:82).[12]
E. Pemeliharaan
Al-Quran
a. Pemeliharaan
Al-Quran pada Masa Rasulullah
Pada masa rasulullah masih hidup Al-Quran dipelihara
sedemikian rupa, sehingga cara yang paling terkenal untuk memelihara Al-Quran
adalah dengan menghafal dan menulisnya. Setiap kali wahyu turun, Rasulullah
memanggil beberapa sahabat dan memerintahkan salah seorang diantara mereka
untuk menuliskan, dan sekaligus memberitahukan kepada mereka dimana ayat-ayat
yang diturunkan itu harus diletakkan.
Untuk
menghindari tercampurnya Al-Quran dengan yang lainnya, maka rasulullah
memerintahkan kepada para sahabat untuk tidak menulis sesuatu selain Al-Quran.
Pola pengumpulan Al-Quran pada masa Rasulullah SAW masih sangat sederhana
sekali. Adapun alat tulis yang digunakan sangat beraneka ragam, seperti :
al-riqa (lembaran kulit, lembaran daun atau lembaran kain), al-usb (pelepah kurma), al-likhaf (batu-batu
yang tipis), al-karanif (kumpulan
pelepah kurma yang lebar), al-akhtab (kayu yang diletakkan di puggung
unta sebagai alas untuk ditunggangi), al-aktaf (tulang kambing atau
tulang unta yang lebar), dan lain sebagainya.
Ada beberapa alasan mengapa pada masa Nabi SAW Al-Quran
belum ditulis dan dibukukan menjadi satu mushaf: pertama, para penghafal
dikalangan sahabat masih banyak jumlahnya; kedua, Nabi masih selalu
menunggu turunnya wahyu dari waktu ke waktu; ketiga, kemungkinan adanya
ayat Al-Quran yang menasakh beberapa ketentuan yang telah turun sebelumnya.
Lembaran
Al-Quran yang masih dalam keadaan demikian itu dikumpulkan di rumah Rasulullah
SAW, di sisi lain para sahabat punjuga memiliki mushaf sendiri disamping
hafalannya. Maka jumlah salinan Al-Quran pada masa rasulullah paling tidak
mencapai lima belas salinan.[13]
b. Pemeliharaan Al-Quran pada Masa Abu Bakar Ash-Shidiq
Sepeninggal
Rasulullah SAW, kekhalifahan diserahkan kepada Abu Bakar Ash-Shidiq. Pada masa
awal kekhalifahannya, Abu Bakar dihadapakan pada peristiwa-peristiwa besar.
Diantaranya adalah banyaknya umat islam yang murtad, muncul nabi palsu, dan
pembangkang untuk membayar zakat. Kemudian khalifah Abu bakar mengirimkan
pasukan perang dibawah kepemimpinan Khalid bin Walid yang berjumlah 4000 orang,
yang sebagian adalah penghafal Al-Quran.
Dalam
pertempuran tersebut sekitar 500 orang penghafal Al-Quran gugur. Melihat
kenyataan tersebut, Umar bin Khatab menghadap Abu Bakar Ash-Shidiq dan
mengusulkan agar mengumpulkan Al-Quran secara keseluruhan dalam satu mushaf.
Menaggapi usulan tersebut, maka khalifah Abu Bakar menugaskan Zaid bin Tsabit
untuk mengumpulkan dan menulis Al-Quran.
Ada
beberapa pertimbangan mendasar mengapa Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit
sebagai orang yang ditugasi untuk mengumpulkan Al-Quran, diantaranya: (1) Zaid
bin Tsabit termasuk penghafal Al-Quran; (2) Zaid bin Tsabit menyaksikan
pertemuan terkhir terhadap Al-Quran; (3) Zaid bin Tsabit termasuk penulis wahyu
untuk Rasulullah; dan (4) Zaid bin Walid adalah seorang yang cerdas, wara,
berakhlak mulia, teguh pada agama, dan menjunjung tinggi amanat.
Dalam
melaksanakan tugas tersebut, Zaid bin Walid bersikap sangt teliti dan hati-
hati. Beliau tidak hanya mengambil dari hafalan para sahabat semata, namun juga
berdasarkan tulisan. Dalam proses pengumpulannya, Zaid tidak mau menerima dari
seorang mengenai Al-Quran sebelum disaksikan oleh dua orang saksi.
Beberapa
prinsip yang digunakan Zaid bin Walid dalam proses pengumpulan Al-Quran: pertama, berpedoman kepada mushaf yang
dimiliki Rasulullah; kedua, berdasarkan hafalan para sahabat; ketiga,
tidak menerima sesuatu yang tertulis sebelum disaksikan oleh dua orang
saksi; keempat, tidak menerima hafalan para sahabat kecuali apa yang
telah mereka terima dari Rasulullah SAW; kelima, selalu meminta pendapat
dari para sahabat senior dan bermusyawarah kepada mereka; keenam,setelah
terkumpul menjadi mushaf, umar mengumpulkan para sahabat di masjid dan
membacakannya mulai dari Al-Fatihah hingga akhir surat An-Nas.[14]
c. Pemeliharaan
Al-Quran pada Masa Umar
bin Khattab
Setelah
Abu Bakar Wafat, kekhalifahan berpindah kepada Umar bin Khattab. Demikian juga
halnya mushaf yang dahulu disimpan Abu Bakar. Pada masa kekhalifahan Umar bin
Khattab ini tidak sibuk membicarakan Al-Quran, tapilebih difokuskan pada
pengembangan ajaran Islam dan wilayah kekuasaan Islam. Jadi dapat dikatakan
bahwa Al-Quran tidak ditulis lagi, tapi ajaran Al-Quran yang lebih
dikedepankan. Oleh karena itu, setiap ada masalah Umar selalu mengajak kembali
kepada Al-Quran, dengan maksud memperhatikan secara lebih teliti pesan apa yang
dibawa Al-Quran tersebut. maka rasio manusia mulai berkembang pada masa ini.
Al-Quran tidak dipahami seca tekstual saja, tapi lebih jauh lagi dipahami
secara kontekstual.[15]
d. Pemeliharaan Al-Quran pada Masa Utsman bin Affan
Ketika
kekhalifahan berpindah kepada Ustman bin Affan, Islam telah tersebar di
berbagai pelosok negeri, dan para sahabat Rasul pun telah tersebar ke berbagai
wilayah. Setiap sahabat mengajarkanAl-Quran dengan dialek berbeda-beda.
Melihat
kondisi umat Islam saat itu, maka Ustman membuat
kitab induk yang nantinya diharapkan dapat mempersatukan kaum muslimin yang
berselisih tentang Al-Quran. Berkaitan dengan pengumpulan Al-Quran pada masa
khalifah Ustman, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, diantaranya:
partama, bahwa yang mendorong Ustman untuk melakukan penyalinan mushaf
Hafshah adalah adanya variasi bacaan Al-Quran di kalangan kaum muslimin; kedua,
bahwa komisi yang bertugas untuk menyalin mushaf tersebut terdiri atas
empat orang, tiga orang dari kaum Quraisy Mekkah dan seorang dari kaum Anshar.
Keempat orang tersebut adalah sahabat nabi yang terkemuka dan terpercaya; ketiga,
bahwa komisi yang dibentuk oleh Ustman tersebut melaksanakan tugasnya pada
tahun 25 H, dan menggunaka mushaf Hafshah sebagai dasar salinan, yang pada
hakikatnya komisi tersebut bersandar pada mushaf asli hasil pengumpulan atas
perintah khalifah Abu Bakar; keempat, panitia empat tersebut dalam
melakukan tugasnya harus berpegang pada Bahasa Arab dialek Quraisy, karena
Al-Quran diturunkan dalam bahasa dialek Quraisy; kelima,setelah tim
menyelesaikan tugasnya, lalu khalifah utsman mengirimkan salinan mushaf hasil
kerja komisi empat tersebut ke berbagai daerah.
Tujuan
dibuatnya salinan itu adalah untuk meniadakan perbedaan dan pertentangan
mengenai cara membaca Al-Quran, sehingga khalifah Utsman pun memerintahkan
kepada kaum muslimin untuk membakar semua mushaf yang lain dan semua catatan
Al-Quran yang dilakukan oleh masing-masingorang dengan caranya sendiri. Tindakan
utsman untuk membakar mushaf tersebut dinilai sangat bijaksana, sebab jika
semua mushaf dengan bermacam-macam cara penulisannya itu tetap dipertahankan,
maka akan menambah tajam dan runcing perpecahan di kalangan kaum muslimin.[16]
e. Penyempurnaan Mushaf Utsmani
Bentuk
penulisan Al-Quran dalam mushaf Utsmani tidaklah sama dengan bentuk penulisan
Al-Quran saat ini. Dalam mushaf Utsmani belum dicantumkan beberapa tanda baca
dan juga titik. Keadaan demikian bertahan hingga 40 tahun lebih. Haltersebut
memungkinkan terjadinya berbagai macam kekliruan dalam bacaan Al-Quran.
Untuk
mengantisipasi terjadinya kekeliruan dalam membaca Al-Quran, lalu dimulailah
dilakukan pembubuhan tanda baca. Kegiatan ini dipelopori oleh Abu al-Aswad
ad-Du’ali, yaitu orang yang pertama kali meletakkan tata bahasa arab atas
perintah khalifa Ali bin Abi Thalib. Sejak itu, mulailah ia bekerja dan dengan
ijtihadnya ia berhasil menciptakan tanda baca fathah dengan membubuhkan titik
satu diatas huruf, tanda kasrah dengan membubuhkan titik satu dibawah huruf,
tanda dhummah dengan membubuhkan titik satu diantara bagaian huruf, dan tanda
sukun dengan cara membubuhkan tanda titik dua. Kemudian hal tersebut
dikembangkan lagi menjadi lebih lengkap.
Namun
sampai akhir abad 3 H para ulama masih banyak yang berselisih pendapat tentang
boleh dan tidaknya penggunaan tanda titik dan tanda baca dalam mushaf. Hal ini
karena disamping ingin menjaga keaslian Al-Quran juga adanya kekhawatiran di
kalangan ulama akan terjadinya perubahan dan penambahan daam Al-Quran.
Pada
zaman berikutnya banyak orang muslim yang menyukai sesuatu yang sebelumnya
ditolak dan ditentang , penggunaan tanda baca titik dan syakl pada penulisan
mushaf. Mereka yang dahulu mengkhawatirkan terjadinya perubahan Al-Quran karena
ditulis dengan tanda titik dan syakl, kini justru mengkhawatirkan terjadinya
salah baca pada orang-orang awam yang tidak mengerti.[17]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
pemaparan di atas pemakalah dapat menyimpulkan bahwa :
1. Jumhur ulama, arti kata nuzul dalam konteksnya dengan Al-Qur’an
atau arti kalimat Nuzulul Qur’an tidak perlu menggunakan arti yang hakiki,
yaitu yang berarti turun atau bertempat maupun berkumpul, melainkan perlu
memakai arti yang majaz, atau arti pinjaman atau tidak asli. Sebab, lafal
Al-Qur’an adalah Kalam atau Firman Allah yeng tidak relevan jika dikatakan
meluncur dari atas atau turun. Hal ini dikarenakan Allah SWT itu tidak
bertempat di langit atau nun jauh di sana, sehingga wahyunya harus turun dari
atas ke bawah. Karena itu kata Nuzulul Qur’an itu diartikan dengan makna
majazi, yaitu Al-Idhhar (menampakkan/menjelaskan) atau Al-I’lam
(memberitahukan/menerangkan) ataupun Al-Ifham (memahamkan/menerangkan).
2. Tahap-tahap turunnya Al-Qur’an yaitu ke Lauh
Mahfudz, Baitul Izzah di Langit dunia, dan turunnya melalui Malaikat Jibril.
3. Dalil-dalil yang Menyebutkan Turunnya
Al-Qur’an secara Berangsur-angsur yaitu QS. An-Nahl : 102, QS. Al-Baqarah : 97, QS. Al-Furqon : 32.
4. Hikmah Turunnya Al-Quran Secara Berangsur-angsur : menabahkan dan
menguatkan hati serta jiwa Nabi Muhammad, membimbing dan membina umat Nabi
Muhammad, membimbing dan membina umat Nabi Muhammad, Al-Quran diturunkan
berkenaan dengan masalah atau kasus yang muncul pada masyarakat waktu itu, dan
menunjukkan bahwa Al-Quran merupakan kalamullah semata.
5. Pemeliharaan Al-Quran ada lima masa yaitu Masa
Rasulullah, Masa Abu Bakar Ash-Shidiq, Masa Umar bin Khattab, Masa Utsman bin
Affan, dan Penyempurnaan Mushaf Utsmani.
DAFTAR PUSTAKA
Quthan
Mana’ul. Pembahasan Ilmu Al-Quran. Semarang : Rineka Cipta. 1993
Amin
Suma, Muhammad. Ulumul Quran. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2013
Hermawan
Acep. Ulumul Quran. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2011
Adzim Al-Zarqani, M. Abdul. Manahil Al-‘Urfan Al-Ulum Al-Quran.
Jakarta : Gaya Medika Pratama. 2001
Djalal Abdul. Ulumul Quran. Surabaya : Dunia Ilmu. 1998
Nor Ichwan, Mohammad. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Semarang :
RaSAIL. 2008
Anwar Abu. Ulumul Quran Sebuah Pengantar. Pekanbaru : Amzah.
2012
[1] Mana’ul
Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, (Semarang : Rineka Cipta, 1993), hlm.
1
[2] Ibid hlm. 84
[3] Muhammad Amin
Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 10-11
[4] Acep Hermawan,
‘Ulumul Quran, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 29
[5] Syeikh M Abdul
Adzim Al-Zarqani, Manahil Al-‘Urfan Al-Ulum Al-Qur’an, (Jakarta : Gaya
Medika Pratama, 2001), hlm. 34
[6] Acep Hermawan,
‘Ulumul Quran, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 30
[7] Abdul Djalal, Ulumul
Qur’an, (Surabaya: CV Dunia Ilmu, 1998), hlm. 50-53
[8]Syeikh Muhammad
Abdul Aziz Al-Zarqani, Manahil Al-‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, Buku 1,
Gaya Media Pratama, Jakarta, 2002. Hlm. 36
[9]Syeikh Muhammad
Abdul Aziz Al-Zarqani, op. cit., hlm. 37
[10]Syeikh Muhammad
Abdul Aziz Al-Zarqani, op. cit., hlm. 41
[11]Mana’ul Guthan,
Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 117
[12]Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran,(Semarang:
Rasail, 2008), hlm 35-42
[13]Mohammad Nor
Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran,(Semarang: Rasail, 2008), hlm 43-46
[14]Mohammad Nor
Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran,(Semarang: RaSAIL, 2008), hlm 48- 52
[15]Abu Anwar, Ulumul
Quran Sebuah Pengantar, (Pekanbaru: Amzah, 2012), hlm 26
[16]Mohammad Nor
Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran,(Semarang: RaSAIL, 2008), hlm 54-62
[17]Mohammad Nor
Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran,(Semarang: RaSAIL, 2008), hlm 65- 69
0 komentar:
Posting Komentar